Sabtu, 20 Juni 2009

Sabtu, 25 April 2009

MENCARI ILMU BAGI KAUM WANITA

Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah


Allah Ta’ala berfirman:
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." [Al-Mujaadilah: 11]

Dia juga berfirman:
"Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." [Az-Zumar: 9]

Dia pun berfirman:
"Katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’" [Thaahaa: 114]

Dari ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:


“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Al-Bukhari]

Dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah akan memperindah seseorang yang mendengarkan satu hadits dari kami, lalu dia menghafalnya ketika dia mendapatkannya. Sebab, berapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih ahli darinya. Dan berapa banyak orang yang membawa fiqih tetapi dia bukan seorang ahli fiqih.” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih]

Dalil-dalil ini dan juga yang semisalnya bersifat umum dan tidak ada pengkhususan baginya. Dan berkumpul untuk mencari ilmu di masjid-masjid adalah lebih baik dan lebih utama.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa menghilangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitan dunia yang diderita oleh seorang mukmin, maka kelak pada hari Kiamat Allah akan menghilangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitan akhirat yang dideritanya. Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang berada dalam suatu ke-susahan, maka Allah akan memudahkannya, baik di dunia maupun di akhirat. Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke Surga. Dan tidaklah orang-orang berkumpul pada salah satu dari rumah-rumah Allah Ta’ala (masjid-masjid), sedang mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka melainkan akan turun ketenangan kepada mereka serta diliputi oleh rahmat dan mereka akan dikelilingi oleh para Malaikat. Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat amal perbuatannya, maka dia tidak akan dipercepat oleh nasab (keturunan)nya.” [HR. Muslim]

Diriwayatkan juga dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar sementara kami masih berada di suffah, lalu beliau bersabda, ‘Siapakah di antara kalian yang ingin pergi setiap hari ke Buthan atau ke al-‘Aqiq, lalu darinya dia datang dengan membawa dua unta yang berpunuk besar tanpa berbuat dosa dan tanpa pemutusan hubungan silaturahmi?”

Maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami menyukai hal tersebut.” Beliau bersabda,

'‘Tidakkah salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, lalu mengajar atau membaca dua ayat dari Kitabullah Azza wa Jalla, maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada dua ekor unta. Dan tiga ayat itu lebih baik baginya dari pada tiga ekor unta. Dan empat ayat itu lebih baik baginya daripada empat ekor unta dan begitu seterusnya.’”

Dalil-dalil di atas bersifat umum dan tidak dikhususkan bagi kaum laki-laki saja, bahkan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum wanita banyak yang pergi ke masjid-masjid untuk menimba ilmu. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengkhususkan untuk menyampaikan nasihat (kepada kaum wanita).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Fathimah binti Qais Radhiyallahu 'anha bahwasanya dia berkata di dalam haditsnya yang panjang di dalam kisah al-Jassasah, dia berkata, “Ketika masa ‘iddahku berakhir, aku mendengar seruan seorang penyeru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berseru, ‘Shalat berjama’ah akan dilakukan.’ Lalu aku berangkat ke masjid dan mengerjakan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berada di dalam barisan wanita yang langsung berada di belakang suatu kaum. Dan setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengerjakan shalatnya, beliau duduk di atas mimbar dan beliau tertawa seraya berucap, ‘Hendaklah setiap orang selalu mendatangi tempat shalatnya.’

Kemudian beliau bertanya, ‘Tahukah kalian, mengapa aku kumpulkan kalian?’Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’

Beliau bersabda:
‘Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengumpulkan kalian karena suatu keinginan atau rasa takut, tetapi aku mengumpulkan kalian karena Tamim ad-Dari, yaitu seorang laki-laki yang beragama Nasrani. Dimana dia datang dan berbai’at serta menyatakan masuk Islam…’”

Dari ‘Amrah binti ‘Abdirrahman dari saudara perempuan ‘Amrah, dia berkata, “Aku menghafal: Þ. æóÇáúÞõÑúÂäö ÇáúãóÌöíÏö ‘Qaaf. Demi al-Qur-an yang mulia,’ dari mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at, di mana beliau membacanya di atas mimbar setiap hari Jum’at.” [HR. Muslim]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku bersaksi atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. -Atau Atha’ berkata, ‘Aku bersaksi atas Ibnu ‘Abbas’- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar rumah bersama Bilal. Lalu beliau mengira bahwa beliau belum memperdengarkan kepada kaum wanita, maka beliau menasihati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk bersedekah. Lalu ada seorang wanita yang melemparkan anting dan cincin. Sementara Bilal mengambil dari ujung bajunya.” [HR. Al-Bukhari]

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada waktu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fithri ke tempat shalat (tanah lapang), maka beliau melintasi sekumpulan wanita, seraya bersabda:

‘Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya kalian pernah diperlihatkan kepadaku sebagai penghuni Neraka yang paling banyak.’ Mereka bertanya, ‘Karena apa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Kalian banyak melaknat dan mengingkari suami. Aku tidak melihat pihak yang memiliki kekurangan pada akal dan agama yang lebih cepat menghilangkan akal orang laki-laki yang teguh melebihi salah seorang di antara kalian.’ Mereka bertanya, ‘Lalu apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?’ Beliau bertanya, ‘Bukankah kesaksian seorang wanita itu seperti setengah kesaksian orang laki-laki?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Demikianlah bagian dari kekurangan akalnya. Bukankah jika sedang haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau pun bersabda, ‘Demikianlah bentuk kekurangan agamanya.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Kaum wanita pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki untuk belajar kepadamu, karena itu, berikanlah satu hari untuk kami dari waktumu.”

Lalu beliau menjanjikan kepada mereka satu hari untuk menemui mereka, lalu beliau menasihati mereka sekaligus menyuruh mereka, dimana di antara yang diucapkan oleh beliau kepada mereka adalah:

“Tidak ada seorang wanita pun di antara kalian ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan mereka akan menjadi pembatas dari Neraka.”

Kemudian ada seorang wanita berkata, “Termasuk juga dua orang anak?” Beliau menjawab, “Termasuk juga dua orang anak.” [HR. Bukhari]

Satu dalil dari dalil-dalil yang banyak ini cukup untuk mematahkan ungkapan seorang:

Kaum wanita tidak mempunyai hak membaca dan menulis
Mereka untuk kita dan hendaklah mereka tetap dalam keadaan junub.
Demikian juga orang yang menyatakan bid’ah bagi tindakan kaum wanita yang menimba ilmu di masjid. Bahkan yang lebih aneh dari ini adalah bagaimana mungkin dia melarang isterinya pergi ke rumah-rumah Allah untuk menuntut ilmu sementara dia memberi izin kepadanya untuk bermain dari rumah ke rumah dan dari toko ke toko lain.

Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah untuk pergi ke masjid.”

Lalu dengan dalil apa orang bodoh itu menilai bid’ah terhadap penuntutan ilmu bagi kaum wanita di masjid dan membolehkannya di rumah.

Oleh karena itu, kita dan juga para ulama kita, ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak akan pernah rela jika masjid-masjid yang ada hampa dari halaqah-halaqah ilmiah dan hanya mengadakannya di rumah-rumah saja. Sebab, kami tidak melihat adanya berkah ilmu dan pengajaran, kecuali di dalam masjid, baik bagi laki-laki maupun wanita. Dan barangsiapa hendak memisahkannya, maka dia harus memberikan dalil, wallaahul musta’aan. Dan kita memo-hon kepada Allah Yang Mahaagung agar Dia menjadikan kita memahami agama serta menjadikan kita bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Sesungguhnya Dia Penguasa semuanya itu dan berkuasa atas segala sesuatu.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

UMMU IBRAHIM AL-BASHARIYYAH, SEORANG WANITA AHLI IBADAH

Ummu Ibrahim al-Bashariyyah, seorang wanita ahli ibadah. Dikisahkan bahwa di Bashrah terdapat para wanita ahli ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim al-Hasyimiyah. Ketika musuh menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah. Kemudian ‘Abdul Wahid bin Zaid al-Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk menganjurkan mereka berjihad. Ummu Ibrahim ini menghadiri majelisnya. ‘Abdul Wahid meneruskan pembicaraannya, kemudian menerangkan tentang bidadari. Dia menyebutkan pernyataan tentang bidadari, dan bersenandung untuk menyifatkan bidadari.

Gadis yang berjalan tenang dan berwibawa
Orang yang menyifatkan memperoleh apa yang diungkapkannya

Dia diciptakan dari segala sesuatu yang baik nan harum
Segala sifat jahat telah dienyahkan

Allah menghiasinya dengan wajah
yang berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa

Matanya bercelak demikian menggoda
Pipinya mencipratkan aroma kesturi

Lemah gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar

Apakah kau melihat peminangnya mendengarkannya
Ketika mengelilingkan piala dan bejana

Di taman yang elok yang kita dengar suaranya
Setiap kali angin menerpa taman itu, bau harumnya menyebar

Dia memanggilnya dengan cinta yang jujur
Hatinya terisi dengannya hingga melimpah

Wahai kekasih, aku tidak menginginkan selainnya
Dengan cincin tunangan sebagai pembukanya

Janganlah kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya
Kemudian setelah itu ia meninggalkannya

Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang merengek-rengek

Maka sebagian orang bergerak pada sebagian lainnya, dan majelis itu pun bergerak. Lalu Ummu Ibrahim menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada 'Abdul Wahid, “Wahai Abu 'Ubaid, bukankah engkau tahu anakku, Ibrahim. Para pemuka Bashrah meminangnya untuk puteri-puteri mereka, tetapi aku memukulnya di hadapan mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini mencengangkanku dan aku meridhainya menjadi pengantin untuk puteraku. Ulangi lagi apa yang engkau sebutkan tentang kecantikannya.” Mendengar hal itu ‘Abdul Wahid kembali menyifatkan bidadari, kemudian bersenandung:

Cahayanya mengeluarkan cahaya dari cahaya wajahnya
Senda guraunya seharum parfum dari parfum murni

Jika menginjakkan sandalnya di atas pasir gersang
niscaya seluruh penjuru menjadi menghijau dengan tanpa hujan

Jika engkau suka, tali yang mengikat pinggangnya
seperti ranting pohon Raihan yang berdaun hijau

Seandainya meludahkan air liurnya di lautan
niscaya penduduk merasakan segarnya meminum air lautan

Pandangan mata yang menipu nyaris melukai pipinya
Dengan luka keraguan hati dari luar kelopak mata

Orang-orang pun menjadi semakin gaduh, lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada ‘Abdul Wahid, “Wahai Abu ‘Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan aku meridhainya sebagai pengantin bagi puteraku. Apakah engkau sudi menikahkannya dengan gadis tersebut saat ini juga, dan engkau ambil maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar, serta dia keluar bersamamu dalam peperangan ini; mudah-mudahan Allah mengarunikan syahadah (mati sebagai syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi syafa’at untukku dan untuk ayahnya pada hari Kiamat.” ‘Abdul Wahid berkata kepadanya, “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan mendapatkan keberuntungan yang besar.” Kemudian ia memanggil puteranya, “Wahai Ibrahim!” Dia bergegas maju dari tengah orang-orang seraya mengatakan, “Aku penuhi panggilanmu, wahai ibu.” Ia mengatakan, “Wahai puteraku! Apakah engkau ridha dengan gadis (bidadari) ini sebagai isteri, dengan syarat engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah dan tidak kembali dalam dosa-dosa?” Pemuda ini menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.” Sang ibu mengatakan, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu dan tidak kembali dalam dosa. Maka, terimalah dia dariku, wahai sebaik-baik Penyayang.” Kemudian ia pergi, lalu datang kembali dengan membawa 10.000 dinar seraya mengatakan, “Wahai Abu 'Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan mahar ini.” Abu ‘Ubaid pun menyiapkan para pejuang di jalan Allah. Sedangkan sang ibu pergi untuk membelikan kuda yang baik untuk puteranya dan menyiapkan senjata untuknya. Ketika ‘Abdul Wahid keluar, Ibrahim pun berangkat, sedangkan para pembaca al-Qur-an di sekitarnya membaca:

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka …"[At-Taubah: 111]

Ketika sang ibu hendak berpisah dengan puteranya, maka ia menyerahkan kain kafan dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika engkau hendak bertemu musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakan wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.” Kemudian ia memeluk puteranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “Wahai anakku, Allah tidak mengumpulkan antara aku denganmu kecuali di hadapan-Nya pada hari Kiamat.”

'Abdul Wahid berkata: “Ketika kami sampai di negeri musuh, terompet pun ditiup, dan orang-orang mulai berperang, maka Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah besar, kemudian mereka mengepungnya, lalu ia terbunuh.”

‘Abdul Wahid berkata: “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada Sahabat-Sahabatku, ‘Jangan menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa puteranya sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan, agar ia tidak bersedih sehingga pahalanya hilang.’ Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orang keluar untuk menyambut kami, dan Ummu Ibrahim keluar di tengah-tengah mereka.”

‘Abdul Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya, ‘Wahai Abu ‘Ubaid, apakah hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau ditolak sehingga aku harus diberi belasungkawa?’ Aku menjawab, ‘Hadiahmu telah diterima. Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang hidup dalam keadaan diberi rizki (insya Allah).’ Maka ia pun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah karena bersyukur, dan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan dugaanku dan menerima ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi. Keesokan harinya, ia datang ke masjid ‘Abdul Wahid lalu berseru, ‘Assalaamu ‘alaikum wahai Abu ‘Ubaid, ada kabar gembira untukmu.’ Dia mengatakan, ‘Engkau senantiasa memberi kabar gembira.’ Ia mengatakan ke-padanya, ‘Tadi malam aku bermimpi melihat puteraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di atasnya terdapat kubah hijau, dia berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan kepalanya memakai mahkota. Dia berucap, ‘Wahai ibu, bergembiralah. Sebab, maharnya telah diterima dan aku bersanding dengan pengantin wanita.’” [1]

Mereka itulah para ibu kita terdahulu, bintang-bintang malam di langit kebesaran dan cahaya yang indah di kening tekad yang menggebu. Itulah sedikit dari pembicaraan tentang jihad mereka yang tidak membiarkan seseorang mengatakan “konon”, tidak memberikan kesempatan kepada orang yang sombong yang menjadi saksi salah satu rahasia kekuatan terbesar, yang menyebabkan bangsa Arab yang “ummi” menjadi sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Itulah jiwa yang diberi celupan oleh Allah dengan rahmat-Nya, menyiraminya dari hikmah-Nya, menciptakannya untuk mendidik prajurit-Nya, serta menyiapkannya untuk menyucikan (makhluk) ciptaan-Nya.

Kesejahteraan atas para manusia
Karena terbebas dari segala aib dan dosa. [2]

Ini adalah kisah-kisah yang berisikan ibrah (pelajaran berharga), penulis kemukakan di sini agar para wanita kita membacanya dan belajar dari generasi pertama; bagaimana mereka menjadi isteri, dan bagaimana mereka bersabar terhadap ketentuan Allah dan tidak bersedih.

Juga agar mereka dapat belajar dari biografi mereka dalam berjihad; betapa banyak mereka mengaitkan hati mereka kepada Allah, tidak kepada dunia berikut perhiasannya yang hina. Demikian pula agar mereka melihat bagaimana wanita membantu suami dan anaknya untuk mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adakah jalan untuk kembali, dan adakah (kesempatan) kembali kepada agama kita?

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Mengapa kita harus menuntut Ilmu????


Pernah gak kita berfikir tentang kenapa kita harus Sekolah? Kita diwajibkan oleh orang tua kita, “Anakku, sekolahlah yang tinggi, nanti kerja yang bagus, lalu dapet duit yang banyak!”. Apakah orang tua kawan2 berkata seperti itu? Beruntunglah kawan, jika tidak berkata seperti itu. Tapi bila orang tua kawan2 berkata seperti ini, “Tuntutlah ilmu dari manapun, kemudian amalkan ilmu yang baik kepada masyarakat, selamat di dunia dan akhirat!”, Selamat, Anda sangat beruntung memiliki orang tua seperti beliau. Kenapa saya berkata seperti itu? Orang tua pertama hanya mengajarkan anaknya untuk menjadi seorang pencari ilmu matre. Tujuan mencari ilmu direduksi menjadi hanya untuk kekayaan materi dan keuntungan pribadi (betapa egoisnya). Namun, kita pun tidak bisa menyalahkan orang tua pertama, karena Ia hanya mengatakan hal yang Ia pelajari dari pengalamannya. Intinya sih kita harus menghormati orang tua yang membesarkan kita (masih untung punya orang tua). Seberengsek-berengseknya orang tua, kalo mereka gak ML trus ngelahirin kita, eksistensi kita yah gak kan ada.

Jadi mencari ilmu itu luas banget yah! Tentu saja, gak cuman di skul aja! Contohnya gini, si Jojo (sori yang namanya sama) bercita-cita menjadi tukang becak. Mungkin gak ilmu yang dia butuhin buat ngayuh becak didapet di Sekolah? Dan lagi, pekerjaan sebagai tukang becak itu adalah cita-citanya dan satu-satunya pekerjaan yang tersedia buat dia. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan betapa luasnya cakupan ilmu. Jadi, apasih ilmu pengetahuan itu? Ilmu pengetahuan itu (setahu saya), merupakan semua pengetahuan yang aplikatif dan dapat diwujudkan menjadi suatu sistem atau produk yang berguna untuk kehidupan manusia. Yang menyedihkan itu kalau ada anggapan di pikiran kita bahwa ilmu itu Cuma ada di sekolahan. Sebenarnya, ilmu-ilmu yang ada di sekolah itu bisa dipelajari secara otodidak. Namun, hal itu butuh waktu yang lebih lama dibandingkan bila kita berguru kepada seseorang. Tapi hal ini pun tidak bisa dijadikan patokan yang final. Banyak kasus anak-anak prodigi yang bisa belajar sendiri tanpa seorang guru. Batapa aneh dan paradoknya hidup manusia…

Jadi, kenapa ilmu penting buat kita? Kenapa kita diwajibkan untuk menuntut ilmu, baik oleh agama kita maupun oleh orang tua kita? Yang terpikir oleh saya sih kalau kita tidak tidak punya ilmu, pasti kita akan sulit untuk berhasil dalam mengerjakan sesuatu. Bayangkan, kita ingin sukses dan berhasil di masyarakat (banyak uang, dihormati, dll), ilmu untuk sukses aja gak punya. Itu kalau kita hanya melihat ilmu sebagai cara untuk sukses. Menurut saya, ada cara lain untuk memandang suatu ilmu. Yaitu, sebagai pembebas pikiran dan akal kita. Ilmu akan membebaskan akal kita dari kebodohan. Ulmu akan membuat kita semakin menyadari keterbatasan kita (betapa luasnya ilmu dan betapa banyak yang tidak kita ketahui). Tapi yang paling penting, kita menyadari bahwa segala ilmu dan pengetahuan milik kita tiada artinya jika hanya akan membuat kita sombong lagi takabur. Karena ilmu kita yang banyak, kita menganggap orang lain lebih bodoh dari kita. Karena ilmu kita banyak, maka membodohi orang lain menjadi halal dan memberi manfaat bagi kita (terkutuklah para penipu dan pemimpin yang membodohi rakyatnya). Ingatlah, orang lain mungkin bisa membodohi kita, selama kita terus saja memejamkan mata dari ilmu pengetahuan dan segala kemungkinan dalam hidup.

Maka, benarlah bila nabi Muhammad mengatakan tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina. Tuntutlah ilmu dari semenjak buaian (bayi) sampai ke liang lahat (mati). Bila dipikir dengan akal yang sehat dan kerendahan hati, hadist tersebut menyatakan betapa pentingnya kita memiliki ilmu. Semua ilmu harus kita ketahui dan tidak terkotak-kotak oleh dikotomi baik-buruk. Penjelasannya begini, biasanya kita dilarang mengetahui ilmu-ilmu bangsat (misalnya : ilmu ngerampok, ilmu korupsi, ilmu cracking, dll). Tapi kenapa kita tidak berfikir seperti ini, “Saya tahu ilmu bangsat biar Saya ngak dibangsatin orang, saya tahu ilmu nipu biar gak ditipu orang”. Karena pada intinya, kembali ke tiap individu untuk mempraktekkan ilmunya, apakah mau buat nipu, atau buat kebaikan.

So, jadi orang baik itu memang pilihan…

Ilmu membebaskan akal dan pikiran kita itu hanya bagi yang menyadarinya…

Bukannya berbuat seenak udel yang membebaskan kita!

jadi, cepet lah Anda sadar! (buat yang udah sadar… selamat deh…)

[apa artinya sebuah ilmu jika tidak didiskusikan, so keluarin unek-unek kawan2, yang setuju maupu yang tidak, ditunggu coment-nya…]

nah....ternyata dpt juara 2. hihihi.... hore...q cantik....hem...

hehe,...lomba cantik-cantikan. hem.... cantik g????

ma mbak yuni di lirboyo